THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 22 Agustus 2011

Jodoh Untuk Saya

Saya masih termangu, seakan tak percaya akan apa yang saya alami, seperti mimpi. Esok saya akan menikah. Ya, menikah. Sesuatu yang saya impikan selama ini. Meski tak urung, hati ini gundah juga, ketika terbayang calon suami yang bahkan namanya saja saya sendiri sering lupa. Ummi hanya berkata, laki-laki yang dalam beberapa jam ke depan akan mempersunting saya ini adalah laki-laki yang tak perlu diragukan lagi keshalihannya. Saya percaya pada Ummi, karena Ummi pasti lebih tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Masih teringat bagaimana dialog saya dengan Ummi beberapa minggu lalu,
***
“Nuny.”
Pun, ada apa Mi?”
“Ada yang ingin Ummi bicarakan sama kamu, tapi Ummi harap kamu nggak kaget mendengarnya.”
Saya mengangguk pelan, meski sedikit heran, tapi tetap berusaha tenang.
“Kemarin, ada teman Ummi yang datang bersilaturahmi ke rumah, beliau melihat foto kamu, dan sepertinya terkesan, lantas ia ingin melamarkan anak laki-lakinya.” Ummi menjelaskan.
Saya masih terdiam, seolah tak yakin dengar apa yang saya dengar. Namun wajah Ummi tidak sedang bergurau, masih tetap teduh dan ayu. Menyembunyikan keterkejutan, saya pun hanya bisa garuk-garuk kepala. Ummi sendiri sepertinya mengerti perasaan saya, ia pun melanjutnya, “Keputusan ada di tangan kamu, nak. Ummi hanya menyampaikan pesan. Tidak ada paksaan untuk kamu menerima lamaran itu, atau sebaliknya.” Ummi berkata bijak.
Siapakah laki-laki itu, bagaimana rupanya, kepribadiannya, agamanya. Dan yang paling utama, bagaimana responnya, apa ia setuju dengan sistem ‘Siti Nurbaya’  yang diberlakukan orang tua kami, bahkan kami belum bertatap muka.
“Nuny tergantung Ummi saja, tapi …” kalimat saya terpotong, ada perasaan ragu mempertanyakan apa yang ada di benak saya tadi.
“Tapi apa Ny?” Ummi penasaran.
“Bagaimana dengan laki-laki yang akan mempersunting Nuny? Apa dia setuju?” pertanyaan inti mengalir. Ummi tersenyum, kemudian mengusap lengan saya.
“Justru ikhwan itu yang mengajukan usul dan meminta Ibunya untuk datang melamarmu untuknya, nak.”
Saya terkejut, seolah ada manupulasi yang tak sedap tercium. Siapa dia?
“Bagaimana orangnya Mi? Agamanya, pribadinya, kehidupannya, dan kenapa dia bisa mengenal Nuny?” Pertanyaan saya berduyun-duyun, membuat Ummi geleng-geleng, tapi tetap tersenyum.
“Percayakan sama Ummi, kamu pasti menyukainya.”
Hanya itu jawaban Ummi, lantas ia berdiri, meninggalkan saya yang masih diliputi rasa penasaran bertubi-tubi. Siapa geragan ikhwan ini? Kenapa dengan beraninya ia melamar saya tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu, melainkan meminta Ibunya yang lebih dulu maju, mengajukan permohonan yang sama sekali tak pernah terpikir akan terjadi dalam hidup saya. Ya, saya dilamar tanpa mengetahui siapa mempelai prianya.
Setiap kali saya mempertanyakan bagaimana laki-laki yang akan menjadi calon suami saja, Ummi hanya meng-copy paste kalimat yang itu-itu saja. Membuat rasa penasaran itu kian menjadi. Saya dibuat ragu, bagaimana jika saya terima pinangannya, namun kelak ketika saya sudah sah sebagai istri, saya tidak sreg dengan suami, saya menyesal. Ahh, ini tidak adil. Ibarat kata, saya disuruh membeli kucing dalam karung. Ya kalau calon suami sesuai dengan kriteria yang saya idamkan, bagaimana kalau tidak? Saya yang rugi.
“Mi, kalau Nuny menolak pinangannya bagaimana?” Tanya saya suatu hari.
Lagi-lagi Ummi tersenyum, senyum sejuta makna yang saya sendiri sebagai anak sulit untuk mengartikannya.
“Kamu nggak percaya sama Ummi?” Tanya Ummi balik.
Tuh kan, kalau Ummi sudah bertanya seperti itu saya hanya bisa mendesah, dibuat serba salah, bagai buah si malakama. Jika pinangan ini saya tolak, Ummi pasti kecewa, apalagi Ummi dengan yakinnya mengatakan bahwa saya pasti menyukai calon suami. Tetapi sebaliknya, jika pinangan ini diterima, bagaimana dengan nasib saya? Bisakah saya mencintai suami? Bisakah kelak saya merasa bahagia hidup bersamanya? Saya tidak ingin mengarungi biduk rumah tangga jika saya tidak bahagia. Berbagai pertanyaan kembali berkecamuk di pikiran. Rasa penasaran tak kunjung hilang, meski hati ini menolak, tapi tak bisa dipungkiri, saya juga ingin menikah, menyempurnakan agama, mengingat usia saya yang beberapa bulan lagi seperempat abad.
Tiga malam berturut-turut saya shalat istikharah, berharap menemukan jawaban dari yang Maha Kuasa. Namun masih tak ada tanda. Meski ada perasaan aneh, karena tiap kali bangun tidur, saya merasa tenang, damai, seolah akan menghadapi hari bahagia kelak. Seolah ada benih bunga yang di tabur dalam hati ini.
Pagi-pagi sekali, ada pesan masuk dari kerabat,
Berhenti tuk jadi yang sempurna.
Temukan dia yang tahu kelemahanmu tetapi tetap ingin menjadi bagian hidupmu.
Seperti peringatan langsung dari yang di atas, kalimat itu benar-benar menyadarkan saya apalah arti diri ini. Siapakah saya, siapakah dia tak ada bedanya. Kami sama-sama insane yang butuh pasangan hidup, dan ia dengan tangan terbuka member jalan mudah untuk saya menempuhnya. Dan hanya karena seciul keraguan yang tak pasti, saya hampir saja membuat Ummi kecewa.
Disaat diri ini termenung, sadar akan kekeliruan. SMS kedua masuk,
Sudahkah kamu membuat orangtuamu bahagia walau hanya hal-hal kecil?
Renungkanlah melalui mata, hati dan telinga. 
Malam hari, ketika saya dan Ummi santap malam, dengan mengucap Bismillah, saya dengan mantap berkata, “Mi, Nuny bersedia menjadi mempelai wanitanya.”
Kali ini tidak hanya tersenyum, Ummi sumringah mendengar pengakuan saya. Dipeluknya diri ini erat, peluk sayang yang baru kali ini terasa indahnya.
***
Akad nikah diadakan di sebuah mesjid dekat rumah. Saya diarak menuju mesjid, dengan berbekal bismillah, kaki ini terasa lebih ringan. Ummi menemani langkah saya, beriringan menuju masjid. Menghantarkan saya menuju hidup baru. Dengan harapan semoga anaknya kelak bahagia, bersama mengarungi hidup, dalam suka maupun duka.
Lima menit setelah saya tiba, rombongan mempelai pria datang, di kejauhan saya bisa lihat dengan jelas siapa calon suami. Dan benar saja, sesuai perkiraan Ummi, saya menyukainya. Pria yang dengan jas dan stelan putih, memakai kopiah itu menyita perhatian saya, ini kali pertama saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia begitu mempesona.
***
Ada banyak hal yang kita tidak inginkan terjadi tetapi harus TERIMA, begitu juga hal yang tidak kita ingin tahu tetapi kita harus BELAJAR. Ikhlaslah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar